-->

logo kiri


logo pondok pesantren alhadi aswaja kota pekalongan

Kanan


logo yayasan alhadi min aswaja

alamat

Panjang Wetan, Gg.1, No.35A, Kec. Pekalongan Utara, Kota Pekalongan - Jawa Tengah
“lariii! Ayo Ma, cepetan. Orang gila nya ngejar-ngejar kita terus.”Kang Ahmad berteriak menggandeng tanganku untuk segera meninggalkan lapangan.Aku semakin dibuat takut oleh orang gila itu yang masih saja mengejar-ngejar kami. Setelah aku menoleh ke belakang “Kang Ahmaaad! Dasar kau, tega sekali bohong padaku.

”Uhh.Kesekian kalinya aku tertipu oleh ulah Kang Ahmad.Aku heran dengan tingkahnya yang selalu saja berbuat usil padaku.Padahal kita selalu bermain bersama.Tak pernah sekalipun aku berbuat curang sewaktu bermain dengannya, tapi nyatanya… tidak ada toleransi sedikitpun untukku sebagai sahabat karibnya.Aku pun berlalu meninggalkannya sendirian di pinggir lapangan. Dan seperti yang aku lihat sekarang,dia masih saja tertawa jahat karena telah berhasil menjahiliku kembali.

Empat tahun kemudian…

Allahu akbar 2x…

Adzan maghrib menggema mengundang jiwa-jiwa yang masih menyatu dengan raga, sejenak rehat dari kesibukan duniawi. Memenuhi panggilan dari Sang Ilahi Rabbi.Suara yang cukup aku kenal siapa pemiliknya.Iya, dialah Kang Ahmad.Dia yang sering dan bahkan hampir tiap hari mengumandangkan adzan di masjid Pondok Pesantren.

Pondok Pesantren Darul Ilmi adalah pesantren tempat kami menimba ilmu.Tepatnya berada di Kabupaten Tulungagung Jawa Timur.Jumlah santri yang ada mencapai 500 santri baik putra maupun putri termasuk aku di dalamnya.

RahmaZaida. Itulah nama yang Bapak berikan untukku atas masukan salah seorang Pak Kyai di Desa tempat aku dilahirkan dan tinggal sampai sekarang.

Pondok Pesantren Darul Ilmi juga sudah cukup lama berdirihampir 15 tahun lamanya.Di dalamnya terdapatBangunan pondok antara santri putra dan putri cukup dekat, hanya saja dibatasi oleh Ndalem Abah Kyai, juga rumah para Dewan Asatidz yang mengajar di PonPes.

Pesantren berbasis salaf ini masih banyak diminati oleh masyarakat.Pendidikan yang diajarkan banyak menggunakan kitab-kitab kuning,dibarengi dengan metode pembelajaran klasik.Di dalamnya terdapat peraturan yangmewajibkan seluruh santri untuk berjamaah di masjid yang terletak persis di sebelah rumah Abah Kyai.Jadi, antara santri putra dan putri jelas tidak bisa bertemu karena terhalang rumah Abah Kyai dan juga Masjid Pondok.

Ditambah pula dengan luasnya bangunan Pondok Pesantren putra yang berjumlah 200 orang, maupun bangunan di PonPes putri yang menampung 300 santri. Menyerupai kompleks perumahan yang masing-masing kamar berisi 20 orang. Ada yang dari Jawa tengah seperti Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, dan Batang.Yang dari Jawa barat seperti Cirebon, Sukabumi, Bogor, juga tak sedikit dari wilayah Jawa timur sendiri.

“Dik Rahma, nanti Mbak Ifa minta tolong diantar beli kitab, ya. Di kantor pengurus putri. Tadi siang katanya pengurus baru beli kitab Mukhtar Al-hadits An-nabawiyyah yang besok pagi digunakan untukmengaji.Kamu, sudah beli?” Tanya Mbak Ifa padaku

“Belum, Mbak.” Jawabku datar,

“Iya sudah, nanti kamu juga jangan lupa, ya.Bawa uangnya Dik, masih ada uang, tho?”Cerocos Mbak ifa Khas dengan logat Jawa Timurnya.

4 tahun sudah kami Saling mengenal.Banyak kisahyang sudah kami rajut bersama.Disaaat senang, sedih, apapun keadaannya kami selalu melaluinya bersama.Sewaktu Mbak Ifa ada uang lebih, dia selalu menawariku untuk makan bersama dan aku tak pernah membayar. Dia selalu menolak jika aku akan mengembalikan uang.

Jika aku sedang tak punya uang karena kiriman belum datang, dia termasuk orang pertama yang menawariku untuk meminjamkan uang.Dia sudah ku anggap seperti kakakku sendiri. Begitupun Mbak Ifa, Dia juga telah menganggapku sebagai adiknya.

Mbak Ifa termasuk anak dari keluarga berada.Sedang aku hanyalah anak seorang buruh tani yang hasilnya belumlah seberapa.Hasil dari pekerjaan Bapak masih bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, itu pun sudah lebih dari cukup dan kami mensyukurinya.Bapak dan Ibu selalu mengajariku untuk belajar hidup prihatin, legowo, dan bersyukur.

“Nduk, sekarang kamu sudah SMA.Kebutuhanmu pasti lebih banyak dibanding ketika masih SMP.Kamu harus belajar menerima apa yang Gusti Allah berikan untuk keluarga kita. Meskipun Bapak hanya Buruh Tani dan Ibumu Buruh Cuci baju, tapi Bapak dan ibu sanggup menyekolahkanmu sampai kuliah nanti.Bapak yakin saja, meski nafkah yang Bapak cari ini belum seberapa, namun Bapak yakin bisa menyekolahkan kamu sampai tingkat sarjana.Meski sedikit insya Allah berkah.”

“Benar nduk apa yang Bapakmu tadi katakan. Kita harus bersyukur dengan apa yang Gusti Allah berikan. Sebagai seorang anak kamu hanya wajib belajar dan selalu mendoakan Bapak Ibumu, supaya diberi kelancaran dan kemudahan dalam mencari rezeki.Dengan terbiasa Hidup prihatin, ketika nantinya kamu sudah berkeluarga dan suamimu termasuk orang yang berpenghasilan tak seberapa, kamusudah terbiasa hidup sederhana tanpa merasa menderita karena tak ada uang.Uang hanyalah sebagai pelengkap, yang penting di dalam keluarga harus ada sikap saling menerima dan bersyukur antara suami dan istri”.

Ingin rasanya menangis, ketika mengingat nasehat Bapak dan ibu.Dengan kesederhanaan Bapak, Ibu mampu menerimanya dengan legowo, tak perrnah sekalipun ku lihat wajah Ibu marah ataupun lisan beliau mengatakan sebuah keluhan dengan keadaan seperti ini.Malu juga rasanya, pasti kalau sudah menasihati ujung-ujungnya membahas kehidupan rumah tangga. Padahal kan, aku baru kelas 1 SMA. Apa mungkin karena kebanyakan teman satu agkatanku yang di Desa sudah yang banyak menggendong anak sehingga menurut Bapak dan Ibu aku sudah pantas untuk mendengarnya? Entahlah.Yang pasti, aku harus rajin di pesantren, giat mendoakan Bapak-Ibu, dan mengaji dengan semangat.Harus ku buat Bapak dan ibu bangga dengan anak satu-satunya ini.

“Dik, kok melamun, tho.Sudah iqomat tuh. Ayo sholat maghrib dulu. Memangnya kamu ndak takut apa kena takzir dari pengurus.Disiram pakai air comberan, mau?, “hahaha…”

Mbak Ifa dan aku tertawa berbarengan dan seketika menutup mulut karena Ning Rima lewat di depan kami untuk ikut berjamaah.

****

Assalamu’alaikum. Wr.Wb.< Diberitahukan kepada segenap santri putra-putri DarulIlmi, untuk segera mempersiapkan diri guna mengikuti pengajian Madrasah Diniyah. Cukup sekian dan terimakasih. Wassalamualaikum.Wr.Wb. “DikRahma. Ayo, berangkat. Cepetan!biarkitadapattempatdudukdi depan.” “Iya, MbakIfaaa. Sebentar.Lagipakaikerudung” Imbuhku. Selalu Mbak Ifa yang lebih dulu siap berangkat mengaji di banding aku. Itulah salah satu alasan yang membuatku senang berteman dengannya, soal mengaji dia yang nomor satu.Selalu berangkat ingin lebih dulu dibanding temansantrilainnya.Dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim sudah dijelaskan beberapa macam tipe seorang teman yang baik, yang bisa menghantarkan kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Senyumkupun mengembang. Di Pon-Pes Darul Ilmi antara santri putra maupun putri, masuk pengajian madrasah sesuai kelas masing-masing. Tiap kelasnya dipisah antara santri putra maupun putri. Terkecuali untuk kelas wustho. Sedikitnya Dewan Asatidz yang mengajar dari kelas ini, muncullah keputusan dari Abah Kyai secara langsung untuk menggabung kelas wustho antara putra dan putri menjadi satu dengan dibatasi Satir. “Eh, Dik.Kamutahu, ndak? Ada santribaru di kelas kita” Seru Mbak Ifa “Lha, kok.Mbakbisatahu?Jangan-jangan…” “Jangan-jangan apa Dik? ”Mbak Ifa memandang wajahku dengan pandangan cemberut. Bibirnya sedikit mancung beberapa senti. “Mbak tahu kabar ada santri baru yang masuk kelas kita dari Ibu. Kemarin siang Ibu memberi kabar melalui telfon Pondok, katanya sepupu Mbak mau nyantri disini. Dan waktu Mbak Tanya kesalah satu MbakNdalemtadisore, “Ada santri baru Fa, dari Kediri katanya. Dia juga punya saudara sepupu di santri putri, namanya Ifa Hanifa. Itu nama kamu, kan?” “Kata Mbak Atun seperti itu.Sewaktu Mbaktanya namanya, dijawab “Muhammad khoirul Umam”.Kan benar itu nama Mas Sepupu Mbak. Kata Mbak Atun lagi,masuknya kelas Wustho, kelas kita.”Papar Mbak Ifa panjang lebar. Sebenarnya, mau ada santri baru ataupun tidak, tetap saja aku tidak akan tahu. Kenapa?,Antara santri putra dan putri dibatasi oleh kaca hitam, ditutup gorden pula. Jelas kami takkan pernah bisa saling tahu nama dan seperti apa teman santri yang satu kelas dengan kami. Dewan Asatidz yang mengajar menggunakan microphone karena jumlah santri yang ada di kelas kami sebanyak 50 santri: putra 20 sedangkanputri 30. “Wassalamu’alaikum. Wr.Wb.”Pak Ustadz Anam mengakhiri pengajian MaDin. Seluruh santri putri segera kembali menuju pesantren. “Rahma, nanti aku pinjam kitab yang baru saja diajarkan Pak Ustadz Anam, ya. Ikut melengkapi Afsahan kitab. Soalnya tadi …. hehe” Pintanya malu-malu sambil memainkan ujung jilbabnya sendiri. Sudah bisa aku tebak, pasti tadi dia mengantuk. Aku amat heran dengan satu temanku ini. Untuk sehari-harinya, aku rasa Atikah punyawaktu yang cukup untuk istirahat, tapi herannya, diasering bahkan selalu mengantuk sewaktu mengaji. Dengan memasang wajah senyum pertanda aku mengijinkan, “Iya, deh.Tapi, hati-hati, ya.Tolong dijaga kitabnya. Soalnya aku pernah meminjamkan kitab tapi sewaktu kembali dalam posisi agak lecek, sedikit sobek, pula” “Iya, Ma. Jangan khawatir. Pasti! Pasti aku jaga dan rawat baik-baik, kok.” Dalam hitungan detik kitabku segera berpindah ketangan Atikah. *** Malam berikutnya, seperti malam-malam biasanya. Suasana kelas wustho ramai jika Dewan Asatidz yang mengajar belum hadir. Entah putra mapun putri, tak ada bedanya. “Assalamu’alaikum.Wr. Wb. Mohon maaf sebelumnya untuk teman-teman santri putra maupun putri. Tadi saya dapat amanat dari Pak Ustadz Nasir, katanya beliau datang terlambat.Kita mendapat tugas musyawarah pelajaran yang minggu lalu telah di bahas beliau.” “huuuuu.” Sontak seisi ruang kelas bergemuruh menyambut suara dari microphone santri putra. “Mohon maaf untuk teman-teman semua.Saya memang mendapat pesan ini dari beliau, kalau tidak percaya ya, sudah.” “Beliau akan hadir 30 menit lagi tepat pukul 21.00 WIB. Jadi, ayo kita manfaatkan waktu 30 menit ini sebaik mungkin. Langsung saja saya dan satu teman putra yang akan memimpin jalannya musyawarah pada malam hari ini.” Dari cara santri putra itu berbicara, ketus sekali rasanya. Awalnya sih lumayan sopan.Seterusnya… seperti itulah. Tempat duduk di kelas kami menghadap arah barat, santri putra pun demikian. Untuk santri putra barisan depan, sedang santri putri tepat di belakangnya, hanya saja dibatasi oleh kaca hitam yang besar, tertutup oleh gorden. Pada kaca besar ini terdapat bagian tengah yang bisa dibuka sewaktu dewan asatidz menerangkan.Meski bisa dibuka,tetap saja hanya sedikit santri yang bisa melihat karena lebarnya tidak lebih dari satu meter. Sebenarnya, bisa saja bagi santri yang ‘suka berekspresi’ akan membuka kaca ini disaat asatidz belum hadir. Namun karena mungkin santri di sini banyak yang tawadhu’ dan takut melanggar, tindakan seperti itu belum pernah terjadi.Aku husnudzon saja. “Perkenalkan kami yang di depan ini, saya sebagai MC Ahmad Zidni, dan sebelah saya Muhammad khoirulUmam” “Cieeee…” Seluruh santri putra maupun putri bersorak pada santri putra yang memperkenalkan diri itu. Ku lihat mereka saling berbisik. “Seperti apa, ya. Rupa santri putra itu.” Ku dengar dari beberapa santri putri yang tengah asyik membicarakan si empunya suara. “Kalau saja, kaca yang tengah itu dibuka, pasti aku bisa melihatnya, hehehe..” Suara yang lain menimpali. “Dik, kamu dengarndak nama yang tadi disebut dari microphone?” “Memangnya kenapa,Mbak?” “Lho..itu lho, tadi. Muhammad khoirulUmam. Itu kan nama sepupu Mbak. Hebat juga dia. Masih jadi santri baru, sudah diminta untuk memimpin musyawarah” “Aku rasa dia pintar, Mbak.Buktinya bisa langsung masuk kelas wustho”.Ku pasang wajah antusias pada MbakIfa sambil memain-mainkan Bolpen hitech yang baru ku beli tadi sore. Sepertinya suara itu, suara Kang Ahmad tetanggaku.Masa iya, dia satu pondok dengan aku?Apa mungkin itu Kang Ahmad yang selalu adzan di masjid Pondok ? Entahlah. “Oh, iya.Mbak baru ingat.Mas Umam memang sebelumnya pernah nyantri.Ndak tahu dimana.Cuma, yang Mbak tahu Mas Umam dulu nyantri di Pekalongan, kurang lebih 6 tahun lamanya. Sudah hafal Nadhom alfiyah juga lho…” “Wah..lama juga ya, Mbak?” “Ya..begitulah.” Musyawarahpun berlangsung cukup ramai.Banyak pula pertanyaan yang diajukan baik dari santri putra maupun putri.Tidak sulit bagi kami untuk ikut bertanya karena di tempat putri ada fasilitas berupa microphone yang memang digunakan untuk mebantu santri putriyang ingin bertanya. 30 menit kemudian Pak Ustadz Nasir hadir.Hasil musyawarah segera dibahas langsung oleh beliau. Selepas pengajian malam itu, aku dan Mbak Ifa tidak langsung pulang. Menunggu antrian keluar dari santri putri lainnya, juga karena kami duduk paling depan pastinya, kami pulang lebih akhir. “Mbak.” “Iya, Dik. Ada apa tho?” jawab Mbak Ifa penuh tanda tanya. “Mas Umam itu saudara Mbak, kan?” “Iya.Terus, kenapa?” “Nggak apa-apa sih.Cuma tanya, hehe.” “Ah, kamu Dik.Mbak kira mau tanya apa. Atau jangan-jangan kamu…” mataMbak Ifa memandangiku penuh selidik. Seperti seorang detektif yang berusaha mencari tahu tentang suatu kasus. “Nggak apa-apa. Cuma tanyaMbak” Ya Allah apakah benar ini yang namanyaMahabbah? Ataukah hanya nafsu sesaat?, sejak musyawarah pengajian MaDin tadi, aku cukup dibuat kagum oleh kepandaian santri baru yang katanya masih saudara Mbak Ifa. Selama 4 tahun di sini, baru ku temui santri sepandai Kang Umam. Meskipun tidak tahu seperti apa rupanya, tidak aku persoalkan. Entahlah, perasaan aneh ini tiba-tiba saja muncul. Yang jelas, tujuan awalku di pesantren, bukan lain hanya untuk menuntut ilmu. Jadi, aku harus semangat belajar untuk bisa membuat bapak dan ibu bahagia. Biarlah rasa ini terbungkus rapi di dalam hati. Hanya Allah dan aku yang tahu.Akan ada waktunya aku memikirkan hal itu. ### Oh senang hati puasa telah tiba sebelas bulan menanti akhirnya sampai juga… Ketika suara bedug bertalu-talu… Dan adzan dikumandangkan selalu… Semua keletihanpun sirna… Yang ada hanya rasa… gembira… Aku ingat betul, lagu yang kunyanyikan ini adalah lagu yang sempat populer pada ramadhan tahun 2003-2004.Lagu ini merupakan lagu wajib yang biasanya dinyanyikan oleh anak-anak peserta serunai ramadhan.Acara yang menampilakan unjuk kebolehan suara ini, cukup banyak menarik perhatianmasyarakat pada masa itu. “Dik.Ndak terasa, ya.Sudah mau 4 tahun kita di sini.Itu artinya sudah cukup lama kita saling kenal. Tapi anehnya, kamu belum pernah sekalipun main ke rumah Mbak, Hemm..”Mbak Ifa menghela nafas. “Hee, iya Mbak.Jangan khawatir.Sebentar lagi kan kita mau libur hari raya, nanti sebelum pulang ke Pekalongan aku main dulu ke rumah Mbak, ingsya Allah”. “Eh, eh, Lho…apa kamu nanti ndak ditanyakan sama Bapak-Ibumu di rumah. Terus, apa kamu ndak takut tho, ilmu yang sudah kamu pelajari di pesantren akan hilang karena kamu ndak pulang dulu kerumah?” “Hemm.Iya sih, Mbak. Tapi kan, kalau aku harus pulang dulu justru akan menambah ongkosperjalanan. Mbak nggak usah khawatir. Nanti aku ijin Bapak lewat telfon rumah tetangga, tapi aku diantar ke Wartel dulu ya, sebelum aku ikut ke rumah Mbak?”, “Sipp, Dik. Nanti pakai uang Mbak saja kalau mautelfon Bapakmu, ndak usah mikir buat mengembalikan uangnya.Kita kan, saudara”. Mbak Ifa tersenyum padaku. Aku langsung memeluknya penuh haru. Beruntung sekali aku bisa mengenalmu Mbak, semoga ikatan persaudaraan ini tidakakan berakhir meskipun nantinya kita sudah tidak nyantri bersama. “Sudah, sudah.Ndak usah kelamaan kamu meluk Mbak. Nanti teman-teman yang lain pasti mengira yang tidak-tidak, hehe…” “Aih, Mbak itu ngomongnya ngelantur”. Jum’at kali ini, terasa berbeda dengan hari jum’at biasanya.Kok bisa?karenasemua santri Darul Ilmi tengah bersiap-siap untuk mudik libur lebaran. Tak ada satupun wajah sedih yang tampak dari wajah kita semua. Ada yang tengah melipat baju-baju yang akan dibawa ke rumah, ada pula yang asyik berbincang-bincang; bercanda gurau, mengucapkan salam perpisahan sebelum mereka pulang ke istana masing-masing, dan kesibukan lainnya yang mereka lakukan sebelum pulang. Alhamdulillah, kami semua sudah sowan ke Abah Kyai dan keluarga. Tak lupa Abah berpesan untuk ‘selalu menjaga nama baik almamater Pondok Pesantren Darul Ilmi’, dan Abah menitipkan salam untuk Bapak-Ibu kami di rumah. Selepas sowan dengan Abah Kyai, para santri berkumpul sesuai rombongan masing-masing. Aku yang biasanya pulang ikut jurusan Pekalongan, kali ini harus ikut jurusan Kediri karena akan ikut dengan Mbak Ifa. Bus yang kami tumpangi adalah salah satu fasilitas dari pesantren untuk mengantar kami pulang. Namun tidak sampai depan rumah, hanya berhenti di alun-alun kota dari masing-masing wilayah. Bus yang membawa kami ke wilayah Kediri sudah berangkat dalam beberapa menit. Hoammm.Rasa kantukku datang.Ku sandarkan kepala di pundak Mbak Ifa.Untuk hitungan ke 20, suara bus sudah tak terdengar lagi bagiku.Seketika, tidak ada hal lagi yang ku ingat. ### Subhanallah. Rumah Mbak Ifa besar juga, ya?. Meskipun yang aku tahu Mbak Ifa selalu bisa memberiku uang pertanda dia anak orang mampu, tapi cara dia berpakaian tidak menunjukkan anak siapa dia berasal. “Dik, kamu tiduran dulu saja di kamar. Pasti masih capek tho? Mbak mau keluar sebentar.Ibu meminta Mbak untuk mengirim makanan ke rumah Budhe.” “Ooh, iya Mbak. Santai saja. Nggak usah khawatir aku ditinggal sendirian, ini kan rumah aku juga kan Mbak, kenapa harus takut sendirian di kamar sendiri. Haha..PD-nya aku”. Mbak Ifapun berlalu meninggalkanku sendirian. **** Malam hari di wilayah Kediri terasa sejuk.Angin malam yang berhembus memasuki jendela kamar Mbak Ifa dengan lirihnya. Bintang-bintang di langit, nampaknya tengah asyik bersenda gurau, memancarkan cahaya , meramaikan langit di atas sana. Dari jendela kamar, sangatlah jelas dan nyaman untuk menikmati suasana kota Kediri di malam hari. Ahh, sungguh nikmatnya malam hari ini.Ku seruput teh yang di hadapanku secara perlahan.Hemm, kehangatannya terasa nikmat ketika melewati tenggorokan.Sambil ku nikmati pisang goreng yang sore tadi ku goreng sendiri, menemani Ibunya Mbak Ifa yang sedang sibuk membuat menu makan malam. Ya Allah, sungguh nikmat yang tiada aku dapat gaMbakrkan lewat kata-kata.Hanya bisa dirasakan lewat hati. Sudah hampir pukul 8 malam ternyata. Tapi, kenapa Mbak Ifa belum juga pulangdari rumah Budhenya?.Mungkin saja Budhenya sangat merindukan Mbak Ifa, jadi tidak ingin dia cepat-cepat pulang ke rumah. Cerita yang pernah ku dengar dari Mbak Ifa, dia memang amat disayang oleh Budhenya. Kemanapun Budhenya pergi, selalu membawakanoleh-oleh untukMbak Ifa meski dia sendiri tidak memintanya. “Dorrrr..Hayo, melamun. Lagi mikir apa kamu Dik? baru aku tinggal beberapa jam saja sudah kehilangan Mbak”. “Yee.PD sekali Mbak ini. Lihat sendiri kan,Mbak. Adikmu ini sedang asyik menimati suasana malam di Kota Kediri. Sambil menikmati hangatnya teh, juga pisang goreng.Ini, mau, nggak?” “Ndak, ah.Mbak sudah kenyang.Tadi di rumah budhe, Mbak disuruh makan bersama.Ya sudah, Mbak ndak bisa langsung pulang. Oh iya, ini kamu dapat surat Dik. Katanya salam juga buat kamu. Cie… kayaknya ada yang kesengsemnih, sama kamu Dik.Mau Mbak bacakan suratnya sekalian buatmu?”Mbak Ifa tersenyum menggoda kepadaku. “Ahh.Mbak.Nggak usah ngelantur.Aku bisa baca sendiri kok, wee”. Perlahan namun pasti, ku buka amplop merah jambu yang ku terima dari Mbak Ifa.Tercium bau wangi sesaat ketika aku mulai membuka isi amplop itu. Teruntuk Dik Rahma yang manis? Assalamu’alaikum… Hai, bagaimana kabarmu Dik? Semoga, kau selalu dalam limpahan rahmat dan ridha Allah SWT. Amin. Alhamdulillahilladzi qod waffaqo… lil’ilmi khoiro kholqihi walittuqo… Sebagai pengantar surat ini, ku selipkan sedikit bait nadhom amriti untukmu. Entah, semenjak kapan aku merasakan hal aneh yang ada pada diriku. Ku akui, kau tak secantik wanita zaman sekarang. Yang suka bersolekkemanapun ia pergi. Ku akui, kaupun tak berpakaian modis sebagaimana dandanan busana anak muda pada umumnya. Namun, ada satu hal yang tidak dimiliki oleh wanita diluar sanayang ada pada dirimu . Kau begitu manis, cantik di luar, dan cantik dari dalam. Aku tahu, di balik kesederhanaanmu, kau mempunyai hati yang lembut. Aku hanya berharap kepada Allah SWT. Jika memang Dia perkenankan aku bisa mengenalimu lebih jauh walaupun lewat surat, aku sangat bersyukur. Namun jika tidak, aku akan mengikhlaskanmu Dik. Salam kasih untuk dirimu Dik Rahma. Semoga allah SWT selalu melindungimu dari segala keburukan. Amin.? Wassalam… “Cie..cie.. yang lagi berbunga-bunga dapat surat cinta. Coba Mbak Lihat suratnya.Apa sih, isinya? sampai-sampai adik Mbak ini terpaku, terdiam ndak ada suaranya”. Tiba-tiba… “Mbak Ifa. Jangan dibaca! Bawa sini”. Ku rebut surat yang searang tengah di tangan Mbak Ifa. “Yee. Gitu aja ko ngambek tho, Dik. Iya, iya deh.Mbak Ifa ngaku salah.”Sambil mengulurkan tangan mengajak bersalaman.Dan langsung memelukku. “Oh, iya Dik. Tadi katanya ada yang mau ikut pulang bareng sama kamu. Tetanggamu ngakunya.Ehemm, siapa ya tadi namanya? Ah… Ahmad kayaknya.Besok kamu disuruh nunggu dia di halte dekat pasar Kediri.Jam 10 pagi diasudah nunggu kamu di sana.” Ternyata Kang Ahmad benar nyantri di pesantren yang sama denganku. Kenapa dia bisa tahu aku ada di rumah Mbak Ifa?Apa mungkin dia sedang bersama kang Umam? “Kang Ahmad? Idih, tumben dia mau ikut aku.Padahal sih, biasanya kita jarang sekali akur.Hemm, malesss.” “Eh, eh. Sama tetangga sendiri mbok yang akur tho… kalau rukun dilihat kan nyenengin Dik” tersenyum menggoda padaku. “Tau ah.Mau tidur dulu.” “Yee.Malah ditinggal tidur”. Meskipun mataku terpejam, namun hatiku tidak. Masih saja terbayang-bayang dengan surat yang baru tadi ku baca. Siapa ya, yang sudah menulis surat itu untukku?. Kalau Kang Umam, nggak mungkin. Aku ataupun dia belum pernah bertemu sebelumnya.Tapi, mungkin saja dia tahu aku dari Mbak Ifa. Lebih nggak mungkin lagi kalau yang ngirim surat itu Kang Ahmad. Tulisannya aku hafal betul.Uuuh..dia kan musuh bebuyutanku. Kami memang tetangga satu desa.Rumahku dengannya juga hanya berjarak beberapa meter saja.Kami juga sudah sejak kecil sering bermain bersama.Akupun tak tahu sejak kapan mulai membencinya. Sebagai seorang laki-laki yang berwajah orientalis, akupun tahu tak sedikit perempuan yang mengakui kalau dia itu tampan dan menawan. Dulu sewaktu kami masih satu sekolah banyak teman perempuan yang menitipan salam padanya melalui aku, banyak juga yang memberinya coklat, roti, atau makanan lainnya. Sudahlah, aku tak mau lagi memikirkannya.Semoga saja, besok tidak terjadi pertengkaran antara aku dengannya. ### Waktu menunjukkan pukul 9 pagi.Sang mentari sedari tadi telah mengintip malu-malu dibalik sekawanan awan.Dan, aku sudah bersiap-siap untuk izin pulang dengan Mbak Ifa sekeluarga. “Ibu, pamit riyinnjeh.Terima kasih atas semuannya dan maaf sudah merepotkan Ibu dan keluarga.”Pelan-pelan kuambil tangan Ibu Mbak Ifa, lalu kucium tangannya. “Ya.Ndak apa-apa Nduk.Ibu malah seneng kamu main ke rumah.Mbak Ifa banyak cerita tentang kamu Da. Semangat ngajinya ya.Ingat Bapak-Ibumu di rumah, buatlah mereka bangga.” “Iya, Bu. Terima kasih.” Malu rasanya dengan Ibu Mbak Ifa.Mungkin Ibunya tahu kalau aku yang sering kalah cepat berangkat mengaji dengan Mbak Ifa.Meskipun keuarganya orang berada, namun sisi religiusnya cukup kental pada keluarga ini. “Mbak.Makasih yo.Aku pak Bali sek maring Pekalongan.(Mbak.Terimakasih ya. Aku mau pulang dulu ke Pekalongan)” “Iya.Hati-hati.Kapan-kapan main lagi ya.” Dan sekarang aku yang memeluknya, mengucapkan salam perpisahan. “Pulang dulu, Bu, Mbak. Assalamu’alaikum…” Ibu dan Mbak Ifa “Wa’alaikumussalaam” Bismillahirrohmanirrohim.Semoga selamat sampai rumah Ya Allah.Amin. Aku menaiki metro mini menuju halte pasar kota Kediri. Jarak yang harus ku tempuh kurang lebih memakan waktu 30 menit. Paling tidak aku sampai di halte pukul 09.30 WIB.Lumayanlah, ada waktu 30 menit sebelum nantinya aku bertemu dengan Kang Ahmad. Bukannya untuk berdandan atau apa, hanya saja harus ku siapkan mental supaya aku tidak mudah terpancing emosi oleh Kang ahmad. Suasana di halte cukup ramai.Banyak orang berlalu-lalang melewati area halte.Ada yang sekedar lewat, ada pula yang memang mempunyai tujuan yang sama denganku yaitu menunggu bus datang. Bus jurusan Kediri-Pekalongan dijadwalkan akan datang pada pukul 10 nanti. Meski masih ada waktu 30 menit menuju pukul 10, namun sudah banyak para calon penumpang bus jurusan Kediri-Pekalongan yang datang memenuhi halte. Samar-samar ku lihat sosok laki-laki yang sudah tak asing lagi bagiku.Iya, dialah Kang Ahmad. “Hei, Rahma. Ternyata kau datang lebih awal dari yang ku kira” Menunjukkan senyum angkuhnya sembari duduk membuat jarak beberapa meter dariku. “Sudahlah Kang, aku tidak mau terlalu banyak mendengar basa-basi darimu” pandanganku masih saja menatap lurus ke depan, tidak ingin menoleh ke kiri sekadar menangkap wajah kang Ahmad seperti apa pagi ini. “Ternyata, kamu masih seperti yang dulu.Setelah kamu lulus SMP sikapmu begitu berbeda padaku.Padahal dulu kita sewaktu Sekolah Dasar selalu bermain bersama.Oh, iya. Aku ingin mengatakan suatu hal penting padamu Ma. Perhatikan baik-baik, jangan kau terus menatap arah jalanan.Bukankah orangtuamu juga mengajarkan, kalau sedang diajak berbicara seharusnya menatap mata lawan bicaranya. Akupun langsung membelokkan badan ke arah kiri. “Begini..sebenarnya, aku takut untuk mengatakannya padamu. Tapi, tak apalah.Dari pada nantinya kamu menyesal. Hatiku dibuatnya dag-dig-dug.Rasa penasaranku makin bertambah. “Itu, ada belek di ujung mata kamu” seketika ku ambil cermin dari resleting kecil bagian depan tas. “Kang Ahmaaad!!!!!..” “Huwahahaha… Kena deh. 1-0” Uhh.Aku selalu saja terkena sikap usilnya.Berulang kali aku coba untuk berhati-hati pada sikapnya, namun tetap saja selalu terjebak.Ku kira benar-benar ada belekdi mata, dan ternyata hanya tipuan saja. “Panjenengan, dari dulu masih saja usil ya, Kang.Kalau bukan karena Bapak-Ibu yang meminta untuk menghormatimu, aku nggak bakalan mau.” “Eh.. eh.. eh.. bicara apakamu Ma. Jangan dibuat serius dong. Kita kansahabatplus tetangga dari kecil. Maaf deh, maaf..Beneran bercanda.Sekarang baru mau mengatakannya.” Dia menghela nafas. “Mungkin, selama ini. Sikapku sama kamu selalu membuat sebal. Dari dulu aku memang sangat suka kalau berbuat usil sama kamu.Perlu kamu tahu, Ma.Sikapku seperti ini karena semata-mata aku hamya ingin menyembunyikan rasa sayangku padamu.Aku takut, kalau kamu sampai tahu, nanti kamu nggakmau lagi berteman denganku,mungkin karena risih atau apapun.” “Dan. Kamu tahu? Kemarin malam ada surat yang diberikan oleh Ifa padamu. Sebenarnya itu surat dariku. Aku sengaja meminta tolong Umam untuk menuliskannya untukku.Supaya kau tidak tahu. Salam yang juga dititipkan lewat Ifa, sebenarnya itupun dariku, bukan dari Umam.Dan sekarang, setelah beberapa tahun aku menata diri untuk bisa mengataknnya padamu, aku ingin mengatakan yang sejujurnya kalau… kalau aku mencintaimu.Iya.Aku mencintaimu Rahma. Setelah aku pikir-pikir, aku tidak mau dengan perasan yang tumbuh ini akan menghancurkan aku maupun kamu, aku putuskan, sesampainya nanti di Pekalongan, aku meminta izin akan mengkhitbahmu. Beritahulah Bapak-Ibumu, aku dan Bapak-Ibu akan mendatangi rumahmu” Duarrrr.Serasa disambar petir di siang bolong. Aku hanya diam menundukkan kepala.Mulutpun terkunci rapat. Sulit rasanya mengucapkan beberapa kalimat yang akan ku jawab atas pernyataan Kang Ahmad tadi. Aku harus waspada, mungkin saja ini hanya rekayasa. Bersambung… Adilatul Ismah

Baca : Sketsa Santri Part 2

Tebarkan Kemanfaatan

Tulisan Menarik Lainnya:

© Copyright 2017 aLhadi Aswaja - Designed by Tim Balitbang Kemdikbud
Created by Fly Media