-->

logo kiri


logo pondok pesantren alhadi aswaja kota pekalongan

Kanan


logo yayasan alhadi min aswaja

alamat

Panjang Wetan, Gg.1, No.35A, Kec. Pekalongan Utara, Kota Pekalongan - Jawa Tengah
Baca : Sketsa Santri Part 1

Setibanya di Pekalongan…

“Assalamu’alaikuum…”
“Wa’alaikumussalaam…”
“Ya Allah. Ternyata anak Bapak pulang. Syukurlah kamu selamat Nduk.” Ku cium tangan Bapak dengan penuh kelembutan.
“Ibu teng pundi, Pak? “(Ibu dimana, Pak?)
“Ning warunge Om Jagad. Mriko disamper mawon.” (di warung Om Jagad. Sana datangi saja.)
“Nggih, Pak” (Iya, Pak)

Selain bekerja sebagai buruh cuci, Ibu juga ikut membantu usaha warungan milik Om Jagad. Lumayanlah untuk menambah uang simpanan kebutuhan setiap harinya. Warung milik Om Jagad ini memang tidaklah besar, tapi cukup banyak orang yang sering membeli makanan di warung miliknya.

“Masakannya enak, Ja. Kamu pintar milih koki” Seloroh salah satu pembeli suatu ketika yang memang sering mampir ke warung Om Jagad.

Banyak yang bilang masakan Ibu rasanya pas, enak, dan ngangenin. Itulah mengapa warung Om Jagad selalu tak sepi dari para pembeli.

“Assalamu’alaikum, Ibu”.
“Wa’alaikumussalaam. Eh sudah pulang, Nduk?”

Ku datangi Ibu yang tengah sibuk membungkus nasi pesanan pembeli. Dan ku cium tangannya dengan penuh kerinduan. Ku cium pipi kanan-kirinya, dan Ibu membalas dengan mencium keningku.

“Iya, Bu. Alhamdulillah Rahma selamat sampai Pekalongan. Ibu ndak usah khawatir karena Rahma pulang bareng Kang Ahmad”
“Ooh. Ya syukurlah kalau begitu. Kamu belum makan kan, Nduk?. Ini Ibu bungkuskan telur dadar 2, untuk Bapak juga ya. Oh, iya. Jangan lupa salim dulu sama Om Jagad”
“Iya, Bu”.

Setelah menemui Om Jagad, Aku pun langsung pulang membawa lauk untuk makan siangku dengan Bapak.

****

The number one for me ..
The number one for me ..
The number one for me ..
Oh.. oh.. Number one for me

Ketika sedang asyiknya mendengarkan musik berjudul ‘Number One For Me’ yang dipopulerkan oleh Maher Zein…

Tok tok tok

Terdengar ketukan pintu dari luar rumah

“Assalamu’alaikuum”
“Wa’alaikumussalaam”

Deg. Aku dibuat terkejut oleh kedatangan tamu malam ini. Ku lihat sosok yang tak asing lagi bagiku beserta kedua orangtuanya yang berada persis disampingnya.

“Silahkan masuk, Pak, Bu. “
“Bapak ada, Ma?”
“Oh. Ya Pak. Ada di belakang, tunggu sebentar saya panggilkan”

Dag-dig-dug, dag-dig-dug, dag-dig-dug.

Dada berdebar semakin kencang. Tak karuan rasanya. Apa mungkin malam ini Kang Ahmad benar akan mengkhitbahku? Secepat itukah?

Tak mau pusing dengan berbagai prasangka, aku langsung menuju kamar. Terdengar samar-samar pembicaraan antara Bapakku dengan Pak Adnan.

“Kira-kira kapan waktunya?”
“Setelah lebaran tahun ini saja, Pak. Tak usah berlama-lama.”

Hah? Setelah lebaran nanti ada apa. Apa mungkin lebaran nanti aku akan…

“Nduk, buka pintunya. Ibu mau bicara”

Ku persilahkan Ibu masuk ke kamar.

“Begini, Ma. Kamu sudah tahu kenapa si Ahmad datang ke rumah sambil mengajak orangtua nya?”

Aku hanya diam.

“Ibu rasa kamu sudah paham nduk. Tak perlu Ibu menjelaskan panjang lebar. Jadi bagaimana menurutmu?”

Ku peluk Ibu erat-erat. Tanpa terasa air mata ini mengalir begitu deras.

“Rahma minta maaf, Bu. Rahma masih ingin nyantri dan menimba ilmu.”

Tangisku semakin pecah

“Ssst. Sudah jangan keras-keras, Nduk. Ndak enak kalau Pak Adnan dan keluarganya mendengar. Ya sudah, kalau itu menjadi keinginanmu. Ibu harap kamu tak menyesal atas keputusan yang kau ambil. Banyak yang ingin menjadi besan Pak Adnan; Baik, dermawan, orang berada, religius, semua hampir ada pada keluarganya. Tapi, jika itu maumu Ibu tak bisa memaksa.”

Ibu pergi meninggalkanku sendirian.

“Apa??? Rahma menolak untuk saya khitbah??”
“Maaf. Maaf sekali Mas Ahmad, bukan maksud kami untuk mengecewakan Mas dan keluarga. Rahma sendiri yang belum siap, dan masih ingin nyantri” Dengan hati-hati Bapak menjelaskan.
“Sudahlah, kita pulang saja Pak, Bu. Orang tak mampu saja sombong, berani menolak pinanganku.”

Plakkk. Pipi Kang Ahmad memerah, ia mengerang kesakitan sambil memegang pipi kirinya.

Pak Adnan menampar anaknya dihadapan kedua orang tua Rahma.

“Sungguh memalukan!. Bapak kecewa dengan sikapmu, Ahmad.”

Pak Adnan dan keluarganya segera undur diri.


Semenjak kedatangan keluarga Kang Ahmad dan orangtuanya malam itu, Bapak tak lagi pergi menggarap padi di sawah. Pasalnya, sawah yang Bapak garap adalah sawah milik Pak Adnan. Ku dengar dari para tetangga, Kang Ahmad yang memberhentikan Bapak bekerja di sawah milik orangtuanya. Sungguh kejam. Aku sedih mendengar Bapak tak lagi bekerja, meski begitu Bapak tetap sabar dan menerimanya.

“Ndak usah merasa bersalah Nduk. Rejeki sudah ada yang mengatur, kita pasrahkan saja dengan Sang pemberi kehidupan”

Aku hanya diam sembari melipat baju yang sudah kering dari tempat jemuran.

“Bapak heran dengan sikap Ahmad. Dulu sewaktu kecil, Ahmad termasuk anak yang paling rajin mengaji, dan gemar membantu orang lain. Tapi kenapa sekarang dia berubah seperti itu, Ma?”
“Entahlah, Pak. Rahma juga tidak tahu. Kang Ahmad yang dulu baik, sekarang menjadi seperti itu.”

Jarum jam menunjukkan pukul 2 siang. Perutku sudah keroncongan sejak dhuhur tadi.

“Pak, Rahma mau ke warung Pak Jagad mengambil lauk seperti biasa.”
“Iya, Nduk. Hati-hati di jalan banyak kendaraan.”

Kring-kring kring-kring… ku naiki sepeda onthel milik Bapak. Meski sudah cukup kuno, tapi tampilannya masih oke karena Bapak rajin merawatnya. Baru beberapa meter mengayuh sepeda, aku dikagetkan dengan suara klakson motor.

Tit… tiiit…

Keseimbanganku hilang dan akhirnya,

Brakk. Aku terjatuh, lutut terasa perih.

“Hahaha… itu hadiah untukmu, Ma”

Ku dongakkan kepala sambil merintih kesakitan,

“Jahat benar kamu, Kang. Tak ku sangka akan sekejam ini”

Cairan merah keluar dari kedua lututku. Aku pusing dengan sikapnya yang berubah begitu cepat.

“Cukup. Cukuup, Kang. Jangan lagi mengganggu kehidupan keluargaku. Setelah kamu dengan seenaknya memecat Bapak, sekarang kamu menyerempet sahabat kecilmu sendiri. Awas saja jika terjadi sesuatu pada Ibu. Sudah, aku menyerah!” Ku pejamkan mata sejenak, berharap masalah yang datang bertubi-tubi berharap membaik.

Ketika ku buka mata…

“Ma.. Woii. Bangun-bangun. Bis jurusan Pekalongan mau berangkat nih.”
“Kok, bisa?” Aku linglung.
“Maaf, ya. Kamu jadi nunggu lama soalnya tadi aku bangun kesiangan. Jadi, baru sampai kesini, deh.”

Jadi, ternyata hanya mimpi? Alhamdulillah. Lucu juga mimpi seperti itu. Tak bisa ku bayangkan seperti apa jadinya kalau itu terjadi di dunia nyata. Aku pun tersenyum geli.

“Idih, bangun tidur malah senyum-senyum. Aneh kamu, Ma.”
“Huu. Suka-suka dong.”
“Pasti baru mimpiin aku, ya?”
“Maaf, ya. Mending mimpi ketemu hantu deh dari pada ketemu kamu.”

Mimpi yang seakan nyata. Hmm.

Tujuanku sekarang adalah menuntut ilmu untuk bekal dunia hingga akhirat nanti. Belajar menjadi anak yang salehah dan berbakti kepada kedua orang tua menjadi tekad kuatku. Syukur-syukur ilmu yang aku peroleh dapat memberikan banyak kemanfaatan dan keberkahan baik untuk diri sendiri, keluarga, maupun masayarakat.

Kami pun segera memasuki bus untuk segera menuju Pekalongan.

Tamat.

Oleh : Adilatul Ismah | Alumni PP. al-Hadi Aswaja

Tebarkan Kemanfaatan

Tulisan Menarik Lainnya:

© Copyright 2017 aLhadi Aswaja - Designed by Tim Balitbang Kemdikbud
Created by Fly Media